Fenomena social media detox atau “cuti” dari media sosial belakangan ini makin ramai dibicarakan. Banyak pengguna yang merasa jenuh dan memilih untuk sementara waktu melepaskan diri dari hiruk-pikuk dunia digital, termasuk akun-akun brand yang biasanya mereka ikuti. Ini jadi tantangan buat brand yang tergantung pada interaksi di media sosial untuk tetap menjangkau audiens mereka, meskipun sebagian besar sedang “off”.
Tapi, bukan berarti brand harus kehilangan relevansi atau ikut “diam” selama tren ini berlangsung. Sebenarnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk tetap terhubung tanpa terkesan memaksa atau terlalu berusaha menarik perhatian. Salah satunya adalah dengan mengubah pola posting dan menyesuaikan jenis konten. Misalnya, alih-alih terus-menerus mempromosikan produk, brand bisa lebih fokus ke konten yang memberi nilai tambah, seperti tips kesehatan mental atau ide kegiatan tanpa ponsel.
Konten yang lebih mindful seperti itu bisa jadi pendekatan yang lebih bijak. Saat audiens sedang libur, mereka lebih tertarik pada hal-hal yang ringan, tidak memancing FOMO (fear of missing out), dan malah mendukung tujuan mereka untuk detoks. Misalnya, brand skincare bisa membahas manfaat self-care tanpa melulu menggunakan ponsel, atau brand olahraga bisa menyarankan aktivitas di luar ruangan.
Di sisi lain, brand juga bisa memanfaatkan waktu ini untuk mengeksplorasi platform yang sifatnya lebih permanen. Blog, buletin email, atau bahkan podcast bisa jadi alternatif untuk tetap menjaga hubungan dengan audiens tanpa “memaksa” mereka untuk kembali ke media sosial. Konten yang ada di platform-platform ini bisa diakses kapan saja, tanpa menuntut kehadiran langsung seperti media sosial.
Jangan lupa, *social media detox* biasanya bukan perpisahan permanen. Sebagian besar audiens akan kembali, dan saat mereka kembali, brand bisa menyambut dengan konten yang menyegarkan, bukannya konten yang sudah terasa basi. Jadi, manfaatkan kesempatan ini untuk menyusun konten-konten menarik yang bisa dijadwalkan kembali saat audiens siap terhubung.
Strategi lain yang tak kalah penting adalah interaksi dengan komunitas. Brand yang bisa membangun hubungan lebih personal akan lebih mudah diingat, bahkan saat audiens sedang “detoks”. Bangun percakapan yang tulus di kolom komentar atau buat forum diskusi kecil yang lebih bersifat komunitas daripada promosi semata. Pendekatan seperti ini bikin audiens merasa diingat tanpa merasa dibanjiri informasi.
Pada akhirnya, relevansi brand tidak hanya tergantung pada frekuensi posting atau iklan, tapi juga pada cara brand memahami kebutuhan audiens. Kalau tren saat ini adalah detox, maka brand juga bisa mendukung gerakan itu dengan lebih banyak fokus pada konten yang benar-benar bermanfaat dan membantu, bukan sekadar menuntut perhatian.
Jadi, ketika audiens kembali nanti, brand sudah siap menyambut dengan konten yang lebih segar dan bermakna. Ingat, kadang lebih sedikit bisa lebih efektif, apalagi di era di mana orang-orang mulai menyadari pentingnya waktu berkualitas di dunia nyata.