Hari pertama Ramadan. Gajian baru masuk. Rasanya ingin langsung belanja ini-itu, tapi otak mulai menghitung cepat: "Bulan ini banyak pengeluaran. Harus atur strategi."
Buka catatan keuangan, membagi uang yang tak seberapa:
π Makan sahur & berbuka: Harus hemat. Masak sendiri lebih murah daripada beli.
π Tagihan listrik & internet: Wajib. Nggak boleh telat.
π Zakat & sedekah: Nggak banyak, tapi harus ada. Berbagi walau sedikit tetap berarti.
π Dana darurat: Kalau bisa nyisihin, meski cuma Rp50.000.
π Persiapan Lebaran: Baju baru? Lihat dulu, kalau yang lama masih bagus, tahan dulu.
Hari ke-10. Teman ngajak buka puasa di luar. Aku lihat dompet, lalu mikir: "Kalau ikut, minggu depan makan apa?" Aku putuskan masak sendiri. Toh, bisa makan enak tanpa keluar banyak uang.
Hari ke-20. Diskon Lebaran mulai menggoda. Notifikasi flash sale muncul bertubi-tubi. Aku hampir tergoda, tapi ingat prinsip: "Beli yang butuh, bukan yang ingin."
Hari ke-30. Alhamdulillah, masih ada sisa uang, nggak sampai kehabisan di akhir bulan. Ramadan ini bukan cuma latihan menahan lapar, tapi juga latihan menahan keinginan belanja.
Ternyata, bertahan di bulan Ramadan bukan soal banyaknya uang, tapi bagaimana cara mengelolanya. Hemat bukan berarti pelit, tapi tahu mana yang lebih penting. πΈπ