Merek tidak hanya sekadar menjual produk atau jasa. Mereka juga mulai angkat bicara soal isu sosial dan politik. Dari kampanye kesetaraan gender, gerakan lingkungan, hingga hak asasi manusia, brand-brand besar berani bersuara. Namun, apakah strategi ini efektif atau justru penuh risiko?
Sociopolitical marketing, atau pemasaran berbasis isu sosial-politik, memang bisa menjadi cara ampuh untuk menarik perhatian audiens. Konsumen saat ini lebih peduli terhadap nilai-nilai yang diusung sebuah brand. Mereka tidak hanya melihat kualitas produk, tetapi juga ingin tahu apakah brand tersebut memiliki visi yang sejalan dengan prinsip mereka. Jika berhasil, pendekatan ini dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dan membangun citra positif.
Namun, ada juga sisi lain yang tidak bisa diabaikan. Berbicara mengenai isu sosial dan politik bisa menjadi pedang bermata dua. Salah langkah sedikit, brand bisa kehilangan kepercayaan pelanggan. Contohnya, beberapa merek yang dianggap hanya 'cari muka' tanpa aksi nyata alias sekadar lip service. Akibatnya, bukannya mendapatkan dukungan, justru terkena boikot.
Contoh nyata bisa dilihat dari kasus Pepsi yang pada tahun 2017 meluncurkan iklan yang menampilkan Kendall Jenner bergabung dalam sebuah protes sosial dan memberikan sekaleng Pepsi kepada polisi. Iklan ini menuai kritik keras karena dianggap meremehkan gerakan protes yang serius, seperti Black Lives Matter. Akibat reaksi negatif yang besar, Pepsi akhirnya menarik iklan tersebut dan meminta maaf.
Di sisi lain, ada juga brand yang sukses dalam strategi ini. Patagonia, misalnya, adalah perusahaan pakaian outdoor yang secara konsisten mendukung isu lingkungan. Mereka tidak hanya membuat kampanye pemasaran tentang keberlanjutan, tetapi juga secara aktif terlibat dalam aksi nyata, seperti menyumbangkan 1% dari pendapatannya untuk pelestarian lingkungan. Keberlanjutan ini membuat Patagonia mendapatkan loyalitas tinggi dari konsumennya.
Lalu, bagaimana cara brand bisa berbicara soal isu sosial tanpa terjebak dalam kontroversi? Kuncinya adalah konsistensi dan aksi nyata. Tidak cukup hanya membuat kampanye atau posting di media sosial, tetapi juga harus diiringi dengan langkah konkret. Misalnya, jika brand mengusung isu lingkungan, mereka bisa membuktikannya dengan penggunaan bahan ramah lingkungan atau program daur ulang.
Selain itu, penting juga untuk memahami audiens. Jangan sekadar mengikuti tren tanpa riset mendalam. Setiap isu sosial memiliki sensitivitasnya sendiri, dan salah dalam menyampaikan pesan bisa berujung bencana. Pastikan pesan yang disampaikan relevan dengan nilai inti brand dan diterima baik oleh target pasar.
Jadi, sociopolitical marketing bisa menjadi strategi yang efektif jika dilakukan dengan tulus dan konsisten. Namun, jika hanya bertujuan untuk menaikkan engagement atau mencari perhatian sesaat, dampaknya bisa berbalik. Bukannya mendapatkan simpati, justru bisa membuat brand kehilangan kredibilitas.
Pada akhirnya, setiap brand harus memilih dengan bijak. Apakah mereka benar-benar ingin menjadi bagian dari perubahan sosial, atau sekadar ingin tampil relevan? Konsumen sekarang lebih jeli dari yang kita kira, dan di era keterbukaan informasi, transparansi adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan.