Beberapa tahun belakangan, dunia digital makin ramai dengan kehadiran AI yang bisa nulis apa saja. Mulai dari caption Instagram sampai artikel panjang, semua bisa dieksekusi sama mesin. Nggak heran kalau banyak yang mulai mikir, apa profesi copywriter bakal punah? Atau minimal, tersingkir pelan-pelan kayak kaset pita di era Spotify.
AI kayak ChatGPT, Jasper, atau Copy.ai sekarang memang bisa bikin tulisan cepat dan rapi. Tinggal ketik perintah, dalam hitungan detik langsung keluar beberapa versi tulisan. Bahkan kalau lagi mager mikir, AI bisa bantu bikin ide tagline atau konsep iklan. Praktis sih, tinggal klik, kopi, tempel.
Tapi, di balik kecepatannya, tulisan AI sering kali terasa “dingin”. Maksudnya, secara teknis memang bener, tapi rasanya kayak sayur tanpa garam. Humor yang nyeleneh, kata-kata nyentil, atau sentuhan lokal yang bikin orang senyum-senyum sendiri — itu masih jadi kelemahan AI.
Copywriter manusia punya kepekaan yang susah diprogram. Mereka paham momen, situasi, bahkan vibes audiens yang lagi rame. Misalnya, pas netizen lagi demam film tertentu atau viral soal makanan aneh, copywriter bisa masuk dengan gaya bahasa yang pas tanpa kelihatan maksa.
Selain itu, strategi storytelling yang natural juga masih jadi senjata manusia. AI memang bisa buat cerita, tapi belum tentu ceritanya relate sama keseharian target audiens. Copywriter tahu betul gimana cara ngebangun narasi yang deket di hati, kayak obrolan santai tapi diam-diam ngiklan.
Bukan berarti AI musuh bebuyutan copywriter. Justru, AI bisa jadi partner kerja yang solid. Misalnya buat cari referensi cepat, bikin draft awal, atau bantu ngasih beberapa opsi kalimat. Jadi, copywriter bisa fokus ke ide-ide kreatif yang lebih personal dan humanis.
Di dunia kerja kreatif, sentuhan manusia tetap nggak bisa sepenuhnya digantikan. Karena di balik sebuah copy yang bagus, ada intuisi, empati, dan pengalaman yang cuma manusia punya. AI bisa bantu banyak hal, tapi soal rasa dan logika, copywriter masih juaranya.
Jadi, buat para copywriter di luar sana, tenang saja. Selama masih ada orang yang pengen ketawa baca caption, baper karena story brand, atau ngerasa “ini gue banget” waktu baca iklan, profesi ini masih aman. AI boleh pinter, tapi hati manusia tetap punya tempatnya.