Dulu, setiap kali membuat konten di media sosial, hashtag adalah senjata utama. Rasanya aneh kalau posting tanpa tambahan deretan tagar di akhir caption. Mulai dari yang umum sampai yang niche, semua dipakai demi mengejar reach dan masuk ke explore. Tapi belakangan, tren itu mulai berubah. Algoritma media sosial perlahan menggeser fokusnya dari sekadar hashtag ke interaksi langsung dan relevansi isi konten.
Sekarang, algoritma lebih peduli seberapa lama orang menonton video, seberapa cepat orang memberikan komentar, atau berapa banyak yang menyimpan postingan. Hashtag perlahan kehilangan kekuatannya sebagai alat utama. Konten tanpa tagar bisa saja lebih unggul jika mampu menarik perhatian di tiga detik pertama. Bukan lagi soal seberapa banyak hashtag yang dipasang, tapi bagaimana isi konten mampu membuat orang berhenti sejenak saat scrolling.
Konten dengan storytelling ringan, humor situasional, atau fakta unik lebih mudah mendapat perhatian. Bahkan topik sederhana tentang keseharian di kantor, situasi rapat virtual, atau pengalaman menghadapi customer unik bisa menjadi viral tanpa perlu tambahan tagar. Hal ini terjadi karena audiens cenderung tertarik dengan hal-hal yang dekat dan relate dengan keseharian mereka.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook saat ini lebih memprioritaskan konten yang mampu memicu interaksi natural daripada sekadar pencarian berdasarkan hashtag. Semakin cepat sebuah konten mendapatkan respons positif dari audiens, semakin besar peluangnya muncul di beranda orang lain. Hal ini menjelaskan kenapa belakangan ini banyak konten sederhana tanpa tagar justru tampil lebih sering di linimasa.
Pergeseran ini menjadi sinyal kuat bahwa pendekatan dalam membuat konten harus ikut menyesuaikan. Tidak cukup hanya menumpuk hashtag, tapi perlu merancang cerita yang menarik dan relevan. Konten yang mampu menyentuh emosi, memancing tawa, atau mengingatkan pada pengalaman tertentu memiliki peluang lebih besar untuk dibagikan dan disimpan orang lain.
Dalam dunia digital marketing, terutama di sektor bisnis dan IT, audiens cenderung jenuh jika terus-menerus disuguhi promosi produk tanpa sentuhan personal. Karena itu, konten yang mengangkat sisi lain dari layanan, cerita di balik layar, atau situasi ringan sehari-hari menjadi strategi yang efektif. Tanpa perlu terlalu keras jualan, pesan tetap tersampaikan dengan cara yang lebih manusiawi.
Meski begitu, hashtag belum sepenuhnya ditinggalkan. Masih ada fungsi branding dan kebutuhan indexing konten untuk campaign tertentu. Hanya saja, posisinya bukan lagi sebagai faktor utama penentu viral. Lebih baik menempatkannya secukupnya untuk kebutuhan pengelompokan topik atau memperkuat branding nama perusahaan.
Di era algoritma sekarang, hal yang paling penting adalah bagaimana membuat orang betah berinteraksi dengan konten yang disajikan. Bangun cerita, pancing rasa penasaran, dan buat hook yang kuat di awal. Bukan soal seberapa panjang daftar tagar yang dipakai, tapi seberapa kuat cerita dalam konten itu bisa menarik perhatian. Karena viral hari ini, bukan lagi soal tagar, melainkan soal siapa yang paling bisa bercerita.