Beberapa waktu lalu saya diajarkan cara menulis puisi. Menariknya, Sang Guru Puisi menyuruh saya memulai dengan satu kalimat spontan; satu kalimat yang tidak perlu melewati proses kompleks untuk memilah diksi, estetika, bahkan logika. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah: bagaimana mungkin? Lantas, Sang Guru meyakinkan bahwa hal itu bisa dilakukan. Caranya sederhana, gunakan apa yang dekat dengan diri saya. "Hal dekat" yang dimaksud bisa berupa benda atau situasi sekitar, bisa juga pengalaman pribadi yang direkam oleh memori di detik pertama hendak menulis, atau emosi yang sedang dirasakan.
Kalimat spontan yang dihasilkan pasti tidak begitu baik--dan tidak bagus. Tapi, dari kalimat spontan itu saya akhirnya bisa menyimpulkan tema yang ingin saya tulis, emosi yang ingin saya sampaikan lewat tulisan, tujuan tulisan tersebut, dan konsep-konsep lainnya untuk satu tulisan. Kalimat spontan yang tidak bagus itu akhirnya bisa disunting, lalu melahirkan kalimat-kalimat berikutnya yang lebih baik, lebih terstruktur, lebih estetik, dan lebih logis.
Teknik tersebut membuat menulis menjadi lebih efisien. Saya pernah menulis puisi hanya dalam waktu 1 jam dan memenangkan lomba di kampus. Tapi, spontanitas tersebut sebenarnya juga membutuhkan pengalaman. Bagaimanapun, menulis yang baik harus memperhatikan diksi. Diksi diperoleh dari pengalaman membaca. Pengalaman itu penting agar kita tahu mengapa harus menulis melihat ketimbang menatap, atau mengapa harus spontan padahal bisa ditulis tiba-tiba? Begitu juga untuk melihat estetika dan logika sebuah kata yang membangun kalimat. Saya bisa saja menulis "pagi itu saya membaca koran" tetapi pengalaman emosional membawa saya untuk menulis "saya menyelami banjir di halaman koran pagi ini".
Menulis spontan ini memang efisien. Tetapi, lebih daripada itu, ia mengungkap hal yang ada di pikiran kita yang bahkan tidak kita sadari. Dari sinilah lahir ide-ide segar, yang sebenarnya kita perlukan. Ide-ide yang relate dengan diri kita, juga mungkin orang lain. Ide yang akhirnya bisa dieksekusi dengan apik karena sangat kita kuasai. Sehingga, kita sebaiknya tidak mengabaikan momen kecil untuk mendapatkan pengalaman.
Jauh sebelum belajar menulis puisi, saya bertemu dengan seorang Guru lain. Kalau mau berkarya dengan baik kamu harus peka dengan apa pun di sekitarmu, katanya. Saya ditanyai hal-hal seperti "berapa jumlah jendela yang ada di rumahmu?" "berapa anak tangga yang kamu naiki tadi?" "berapa orang yang ada dalam ruangan ini?". Anehnya, saat itu saya tidak tahu semua jawaban pertanyaan itu--ya, bahkan jumlah jendela di rumah.
Kalau dipikir-pikir, apa untungnya? Baru belakangan ini saya sadar bahwa yang diajarkan Guru ini adalah merekam pengalaman--yang tidak kita anggap sebagai pengalaman. Kita selalu ingin punya pengalaman, kebanyakan adalah hal-hal besar: bekerja di perusahaan BUMN, traveling ke luar negeri, pergi ke konser Taylor Swift, dan masih banyak lagi. Padahal, pengalaman digigit nyamuk, kepanasan di musim kemarau, kehujanan, begadang karena drakor, atau duduk seharian di depan komputer dan mengalami kebuntuan mencari ide juga sama pentingnya.
Ilmu dari dua Guru tersebut saling berkaitan. Sering kali kita terlalu fokus pada hal-hal yang kita anggap besar. Padahal untuk mendatangkan ide yang besar, kita hanya perlu melihat hal-hal kecil di sekitar kita.
Mengasah kreativitas dengan menulis spontan ini baru saya terapkan untuk mendapatkan ide tulisan. Abangda dan kakanda mungkin bisa mengimplementasikannya ke bidang yang dikuasai masing-masing. Saya sendiri belum punya gambaran bagaimana spontanitas ini bisa digunakan untuk mendapatkan ide desain atau dalam dunia IT. Tapi, ada sedikit keyakinan dalam benak saya bahwa sesuatu yang spontan jauh lebih baik daripada sesuatu yang direncanakan. Sama seperti bukber dengan bestie yang pasti terlaksana jika direncanakan mendadak dan bukan sebaliknya.
Jadi, apa satu kalimat spontanmu setelah membaca tulisan ini?